Remedi.

Дита лаил́адриша
4 min readOct 27, 2020

--

Hi! long time no write…

gue juga bingung apa yang tetiba membawa gue balik journaling di medium ini.

Maybe that’s because after all this time, gue masih berada dalam lingkaran rasa bersalah yang gapunya ujung dan gapunya pintu keluar. Tapi gue melihat ada harapan setelah malem ini gue ada di dalam lingkaran Rumah Remedi.

Suatu komunitas, safe place, tempat bercerita, meditasi, self-healing, you name it. Bersyukur banget gue bisa ada kesempatan ikut meditasi malem ini yang berjudul stress release, also gue akan ikut meditasi besok yang temanya wellbeing: Let It Go. Jujur pasti banjir lagi, hehe.

Sebenernya apasih yang ada di dada selama ini yang bikin semuanya berat? Semua nangis tanpa henti hampir tiap malem? Semua rasa kosong dan benci diri sendiri? Awalnya gue denial, tp ternyata gue beneran tau jawabannya, gue beneran belum bisa memaafkan diri sendiri. I don’t know how to forgive myself.

Gue pernah benci sama orang, pernah belom bisa maafin orang yang pernah bully gue waktu smp, gue pikir2 lagi di mana letak perbedaannya. Gue baru sadar when i hate people i just can let it go and dont give a fuck about them anymore. Tapi beda sm diri sendiri, when i hate myself, when i cant forgive myself gue gabisa gitu aja ngelupain dan ‘hapus’ diri gue dari hidup gue, bcs this is…..me…..i live with me everyday. Meraung-raung setiap malamnya mohon sama Tuhan “Tuhan, aku cuma mau bisa maafin atas segala sesuatu yg pernah aku perbuat. Aku cuma mau bisa terima atas semua hal yang terjadi baik di hidupku atau di diriku” tapi makin berat rasanya, I try too hard. I try too hard to forgive myself when at the same time I also still cant forgive myself. This is angel & demon fighting in me.

I just realized all the process this few months is just a distraction… start from Bali, meet a new guy, make a new circle, make new friends, start a business, go to therapist, dump a guy bcs i still comparing to my past-lover… all just a distraction bcs i am not really healed from the cut that I made myself. Susah banget rasanya nutup luka yang di mana luka itu dibuat sama tangan sendiri, senjata makan tuan.

Sampe di tahap gue mikir… do I deserve another chance in life? do i deserve to be loved anymore? how people gonna accept me when i can’t accept myself? I become toxic to myself and to other people. I’m drown in my own sea of guilt.

“God i really want to be happy but how come when I’m not letting myself to?” itu aja terus yang muter setiap midnight thinking. Capek, capek banget rasanya sampe di tahap beberapa hari ini saking capeknya…. gue mencoba ‘yaudalah’ dan keluar tuh dialog capek gue sama tuhan “Ya Allah kalo emg gini yaudadah mo gmn lagi, terserah aja mo gmn kedepannya. Kalo emg harus capek seumur idup yaudah gapapa, tapi Ya Allah kalo bener2 Engkau liat ke titik paling dalam hatiku, engkau tau apa yang sebnrnya aku mau dan ingin aku ubah.”

Deg.

Ketemu lah gue sama Rumah Remedi. Menurut gue malem ini life changing bgt di hidup gue, menurut gue Rumah Remedi adalah salahsatu portal dan jalan di mana Tuhan tuh seakan2 mau ngasih tau “Nih kalo lo coba ikhlas, kl lo usaha, kl lo MAU ngubah diri lo, ada jalan loh” :”)

Salah satu metode releasing yang gue dapet dari Rumah Remedi adalah metode Sedona di mana gue diajarkan untuk menampung semua luka, semua kesalahan, semua sedih, semua sakit, semua benci, semua hal yang memberatkan, dan ditampung ke dalam lubang di dada sambil berkata “Aku terima sakitnya. Aku terima atas apa yang terjadi di diriku dan aku terima atas semua proses yang terjadi di hidupku” terima terus, kumpulin terus, dan jujur rasanya dada gue mau pecah, rasanya beraaat banget, rasanya sesek, my body is shaking. But then, we have to release this disease. Cuma tiga kuncinya yang terus diulang cyclenya dan ditanamkan ke diri “Bisa kah kamu buang semuanya? Mau kah kamu buang semuanya? Kapan kamu mau mulai buang semuanya?” Jawaban jujur dari diri gue “Bisa, mau, dan from now on”. Satu jam gue melakukan meditasi cycle Sedona ini rasanya tenaga mau abis, dan emang namanya kekuatan pikiran ya, di akhir cycle rasanya dada gue ringan. Gue percaya gue udah release energy negatif yang “Bisa, mau, dan from now on” itu ke universe.

Then I start to believe in myself. Kalo gue pasti bisa, kemauan gue tinggi, dan detik ini juga gue mau berusaha untuk mulai maafin diri sendiri.

Di akhir sesi, gue masuk sesi relaksasi yang di mana gue tiduran, inhale, exhale, lalu membayangkan di titik terdalam jantung gue ada diri gue yang masih berumur 7 tahun, dan gue melihat gambaran diri yang happy, tanpa beban, di perosotan TK. Lalu gue peluk my mini me. Than I started to say to her “Halo ita kecil, makasih udah ada di bumi ini. Your life gonna be full of surprise either you like it or not, your life gonna be amazing, ada kebahagiaan dan kesedihan di hidup kamu nanti, i know ita kecil gonna be a strong woman, bcs hey look at me, here I am still stood up in this world, hugging at you with all of my weights in my shoulder, tapi you know ita kecil, youre not gonna stop fighting for your life. Terima kasih yaa”

So i go back to reality and hug my chest, saying thank you to myself, minta maaf sama diri sendiri, berulang kali, for trying too hard on myself. Minta maaf berulang kali sama diri sendiri yang sering nyakitin diri sendiri mentally and physically (jujur ngebayangin gue kecil dan ngebayangin atas apa yg udah gue lakuin sm diri sendiri gue nangis kejer, how could I hurt that little soul — feels like im in a loop kayak di film Inception). Minta maaf maaf maaf dan terima kasih, ga berhenti2.

So i cried, and I started to believe this is my baby step, my journey to forgive myself, to believe there will be happiness if I really believe in it. I can, I will, from now on.

--

--